PEMERIKSAAN RESISTENSI OSMOTIK DARAH CARA VISUAL
I. PEMERIKSAAN RESISTENSI OSMOTIK DARAH CARA VISUAL
II. TANGGAL PRAKTIKUM
Selasa, 8 Juni 1010
III. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengetahui pemeriksaan resistensi osmotic darah secara visual.
2. Mahasiswa akan dapat mengetahui osmotic yang mulai lisis dan yang lisis sempurna.
IV. DASAR TEORI
Hemolisa adalah peristiwa keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah menuju ke cairan di sekelilingnya. Keluarnya hemoglobin ini disebabkan karena pecahnya membrane sel darah merah. Membrane sel darah merah mudah dilalui atau ditembus oleh ion-ion H+, OH-, NH4+, PO4, HCO3-, Cl-, dan juga oleh substansi-substansi yang lain seperti glukosa, asam amino, urea, dan asam urat. Sebaliknya membrane sel darah merah tidak dapat ditembus oleh Na+, K+, Ca++, Mg++, fosfat organic dan juga substansi lain seperti hemoglobin dan protein plasma. Secara umum, membrane yang dapat dilaui atau ditembus oleh suatu substansi dikatakan bahwa membrane ini permeable terhadap substansi tersebut. Membrane yang betul-betul semi permeable adalah membrane yang hanya dapat ditembus oleh molekul air saja, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi lain. Tidak ada membrane pada organism yang bersifat betul-betul semi permeable, yang ada adalah membrane yang bersifat permeable selektif, yaitu membrane yang dapat ditembus oleh molekul air dan substansi-substansi lain, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi yang lain lagi. Jadi membrane sel darah merah termasuk yang permeable selektif.
Ada 2 macam hemolisa yaitu :
1. Hemolisa Osmotik
Hemolisa osmotic terjadi karena adanya perbedaan yang besar antara tekanan osmosa cairan di dalam sel darah merah dengan cairan di sekelilingnya sel darah merah. Dalam hal mini tekanan osmosa isi sel jauh lebih besar daripada tekanan osmosa di luar sel. Tekanan osmosa isi sel darah merah adalah sama dengan tekanan osmosa larutan NaCl 0.9%. bila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan 0,8 % belum terlihat adanya hemolisa tetapi sel darah merah yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,4 % hanya sebagian saja dari sel darah merah yang mengalami hemolisa sedangkan sebagian sel darah merah yangt lainnya masih utuh. Perbedaan ini disebabkan karena umur sel darah merah berbeda-beda. Sel darah merah yang sudah tua, membrane sel mudah pecah sedangkan sel darah merah yang muda, membrane selnya kuat. Bila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,3%, semua sel darah merah akan mengalami hemolisa. Hal ini disebut hemolisa sempurna. Larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih kecil daripada tekanan osmosa isi sel darah merah disebut larutan hipotonis, sedangkan larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih besarisi sel darah merah disebut larutan hipertonis. Suatu larutan yang mempunyai tekanan osmosa yang sama besar dengan tekanan osmosa isi sel disebuit larutan isotonis.
2. Hemolisa Kimiawi
Pada hemolisa kimiawi, membrane sel darah merah dirusak oleh macam-macam substansi kimia. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dinding selm darah merah terutama terdiri dari lipid dan protein membentuk suatu lapisan yang disebut lipoprotein. Jadi setiap substansi kimia yang dapat melarutkan lemak (pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membrane sel darah merah. Kita mengenal bermacam-macam pelarut lemak yaitu kloroform, aseton, alcohol, benzene dan eter. Substansi lain yang dapat merusak membrane sel darah merah diantaranya adalah bias ular, bias kalajengking, garam empedu, saponin, nitrobenzene, pirogalol, asam karbon, resi, dan senyawa arsen.
Sel darah merah yang ditempatkan dalam larutan garam yang isotonis tidak akan mengalami kerusakan dan tetap utuh.Tetapi bila sel darah merah ditempatkan dalam air distilata,sel darah merah akan mengalami hemolisa,karena tekanan osomose isi sel darah merah jauh lebih besar daripada tekanan osomose diluar sel sehingga mengakibatkan banyak air masuk kedalam sel darah merah(osmosis).Selanjutnya air yang banyak masuk kedalam sel darah merah itu akan menekan membrane sel darah sehingga membrane pecah.
METODA
Daya Tahan Osmotik Cara Visual
V. PRINSIP KERJA
Sel darah merah akan mengalami lisis bila ditempatkan pada larutan (osmotic fragility of the erythrocytes) bertalian dengan bentuk sel darah merah. Pemeriksaan ini bermakna pada bermacam-macam kelainan seperti pada anemia hemolitik, Hb abnormal dll.
VI. ALAT DAN BAHAN
Alat
24 Tabung reaksi§
Rak tabung reaksi§
Pipet kapiler§
Bahan
Larutan NaCl 0,5 %§
Reagen EDTA§
3 cc darah vena§
Aquades§
VII. CARA KERJA
1. Susunlah sebanyak 24 tabumg reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris,masing-masing berbaris 12 tabung.Deretan baris pertama digunakan untuk control.
2. Masing-masing tabung tersebyt diberi nomor dari kiri kekanan dengan urutan sebagai berikut:25,24,23,22,21,20,19,18,17,16,15,14.
3. Kemudian diteteskan NaCl 0,5% dengan pipet kapiler yang banyaknya disesuaikan dengan nomor tabung.
4. Diteteskan pula aquades pada tiap tabung,sampai volumenya berjumlah 25 tetes tiap tabung.Contoh 24 tetes NaCl 0,5% + tetes aquades,23 tetes NaCl 0,5% + 2 tetes aquades.
5. Konsentrasi NaCl pada masing-masing larutan menjadi sebagai berikut:0,5%;0,48%;0,46%;0,44%;0,42%;0,40%;0,38%;0,36%;0,34%;0,32%;0,30%;0,28%.
6. Diambil 3cc darah vena dan diberi 2 tetes EDTA lalu pada masing-masing tabung ditetesi 1 tetes darah,dicampur serta didiamkan 2jam,pada temperature kamar.Untuk control tidak diberi darah.
7. Dibaca tabung dimana terjadi permulaan hemolisis dan tabung dimana terjadi hemolisis yang sempurna (complete hemolisis)
8. Hasil dibandingkan dengan control normal.
Nilai Normal :
Mulai lisis pada NaCl 0,44% (0,42% ± 0,02 % NaCl)
Hemolisis sempurna pada NaCl 0,34% (0,34% ± 0,02% NaCl).
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk pemeriksaan osmotic 1 ml dari darah Reni Dwi Agustina.
Mulai lisis pada tabung nomor 23 dan lisis sempurna pada tabung nomor 15.
Tabung 23 23 tetes NaCl 0,5% dan 2 tetes Aquades
Tabung 15 15 tetes NaCl 0,5% dan 10 tetes Aquades
Mulai lisis pada NaCl 0,46 % ( 0,44% 0,02 % NaCl)
Lisis sempurna pada NaCl 0,30% ( 0,28% 0,02 % NaCl)
Perhitungan ini berbeda dengan nilai normal karena selisih 0,02.
PERTANYAAN :
1. Jelaskan anemia hemolitik otoimun dan sebutkan contoh penyakitnya.
Patofisiologi anemia hemolitik otoimun :
a. Karena Aktivasi system komplemen
Membrane sel darah merah mengalami lisis atau hancur dan terjadi hemolisis intravaskuler.
b. Aktivasi mekanisme seluler
Karena adanya rangsangan keluarnya Immunoglobulin G (IgG) menyebabkan terjadinya hemolisis ekstravaskuler.
c. Kombinasi keduanya
Membrane sel darah merah mengalami lisis atau hancur dan terjadi hemolisis intravaskuler. Selain itu, juga adanya rangsangan keluarnya Immunoglobulin G (IgG) menyebabkan terjadinya hemolisis ekstravaskuler.
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi (autoantibodi) dalam darah, yang terikat dan bereaksi terhadap sel darah merah sendiri.
Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.
Anemia Hemolitik Antibodi Hangat.§
Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita.
Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena , selanjutnya per-oral (ditelan). Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin.§
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh.
Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala yang serius.
Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik.
2. Jelaskan penyakit malaria yang berhubungan dengan hemolisis Sel darah Merah.
Penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang yang intermiten, anemia sekunder dan spenomegali. Penyakit ini cenderung untuk beralih dari keadaan akut ke keadaan menahun.
Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu :
a. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria
b. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).
Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena :
-Pecahnya eritrosit yang mengandung parasit
-Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit
Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronik, pada keadan akut terjadi penurunan yang cepat dari Hb. Penyebab anemia pada malaria adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit, penekanan eritropoesis dan mungkin sangat penting adalah hemolisis oleh proses imunologis.
Pada malaria akut juga terjadi penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi hiperemik, pigmentasi aktif dengan hyperplasia dari normoblast. Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisositosis, polikromasia dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisioasa. Juga dapat dijumpai trombositopenia yang dapat mengganggu proses koagulasi.
IX. KESIMPULAN
1. Mahasiswa mampu mengukur resistensi osmotic darah secara visual dengan adanya lisis ataupun lisis sempurna.
2. Sel darah merah akan mengalami lisis bila ditempatkan pada larutan hipotonis.
3. Pemeriksaan resistensi osmotic darah ini bermanfaat dalam mendiagnosa bermacam macam kelainan seperti anemia hemolitik, Hb abnormal maupun pada penyakit malaria yang terjadi hemolisis sel darah merah oleh parasit Plasmodium sp.
II. TANGGAL PRAKTIKUM
Selasa, 8 Juni 1010
III. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengetahui pemeriksaan resistensi osmotic darah secara visual.
2. Mahasiswa akan dapat mengetahui osmotic yang mulai lisis dan yang lisis sempurna.
IV. DASAR TEORI
Hemolisa adalah peristiwa keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah merah menuju ke cairan di sekelilingnya. Keluarnya hemoglobin ini disebabkan karena pecahnya membrane sel darah merah. Membrane sel darah merah mudah dilalui atau ditembus oleh ion-ion H+, OH-, NH4+, PO4, HCO3-, Cl-, dan juga oleh substansi-substansi yang lain seperti glukosa, asam amino, urea, dan asam urat. Sebaliknya membrane sel darah merah tidak dapat ditembus oleh Na+, K+, Ca++, Mg++, fosfat organic dan juga substansi lain seperti hemoglobin dan protein plasma. Secara umum, membrane yang dapat dilaui atau ditembus oleh suatu substansi dikatakan bahwa membrane ini permeable terhadap substansi tersebut. Membrane yang betul-betul semi permeable adalah membrane yang hanya dapat ditembus oleh molekul air saja, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi lain. Tidak ada membrane pada organism yang bersifat betul-betul semi permeable, yang ada adalah membrane yang bersifat permeable selektif, yaitu membrane yang dapat ditembus oleh molekul air dan substansi-substansi lain, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi yang lain lagi. Jadi membrane sel darah merah termasuk yang permeable selektif.
Ada 2 macam hemolisa yaitu :
1. Hemolisa Osmotik
Hemolisa osmotic terjadi karena adanya perbedaan yang besar antara tekanan osmosa cairan di dalam sel darah merah dengan cairan di sekelilingnya sel darah merah. Dalam hal mini tekanan osmosa isi sel jauh lebih besar daripada tekanan osmosa di luar sel. Tekanan osmosa isi sel darah merah adalah sama dengan tekanan osmosa larutan NaCl 0.9%. bila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan 0,8 % belum terlihat adanya hemolisa tetapi sel darah merah yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,4 % hanya sebagian saja dari sel darah merah yang mengalami hemolisa sedangkan sebagian sel darah merah yangt lainnya masih utuh. Perbedaan ini disebabkan karena umur sel darah merah berbeda-beda. Sel darah merah yang sudah tua, membrane sel mudah pecah sedangkan sel darah merah yang muda, membrane selnya kuat. Bila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,3%, semua sel darah merah akan mengalami hemolisa. Hal ini disebut hemolisa sempurna. Larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih kecil daripada tekanan osmosa isi sel darah merah disebut larutan hipotonis, sedangkan larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih besarisi sel darah merah disebut larutan hipertonis. Suatu larutan yang mempunyai tekanan osmosa yang sama besar dengan tekanan osmosa isi sel disebuit larutan isotonis.
2. Hemolisa Kimiawi
Pada hemolisa kimiawi, membrane sel darah merah dirusak oleh macam-macam substansi kimia. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dinding selm darah merah terutama terdiri dari lipid dan protein membentuk suatu lapisan yang disebut lipoprotein. Jadi setiap substansi kimia yang dapat melarutkan lemak (pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membrane sel darah merah. Kita mengenal bermacam-macam pelarut lemak yaitu kloroform, aseton, alcohol, benzene dan eter. Substansi lain yang dapat merusak membrane sel darah merah diantaranya adalah bias ular, bias kalajengking, garam empedu, saponin, nitrobenzene, pirogalol, asam karbon, resi, dan senyawa arsen.
Sel darah merah yang ditempatkan dalam larutan garam yang isotonis tidak akan mengalami kerusakan dan tetap utuh.Tetapi bila sel darah merah ditempatkan dalam air distilata,sel darah merah akan mengalami hemolisa,karena tekanan osomose isi sel darah merah jauh lebih besar daripada tekanan osomose diluar sel sehingga mengakibatkan banyak air masuk kedalam sel darah merah(osmosis).Selanjutnya air yang banyak masuk kedalam sel darah merah itu akan menekan membrane sel darah sehingga membrane pecah.
METODA
Daya Tahan Osmotik Cara Visual
V. PRINSIP KERJA
Sel darah merah akan mengalami lisis bila ditempatkan pada larutan (osmotic fragility of the erythrocytes) bertalian dengan bentuk sel darah merah. Pemeriksaan ini bermakna pada bermacam-macam kelainan seperti pada anemia hemolitik, Hb abnormal dll.
VI. ALAT DAN BAHAN
Alat
24 Tabung reaksi§
Rak tabung reaksi§
Pipet kapiler§
Bahan
Larutan NaCl 0,5 %§
Reagen EDTA§
3 cc darah vena§
Aquades§
VII. CARA KERJA
1. Susunlah sebanyak 24 tabumg reaksi pada rak dan dibagi menjadi 2 baris,masing-masing berbaris 12 tabung.Deretan baris pertama digunakan untuk control.
2. Masing-masing tabung tersebyt diberi nomor dari kiri kekanan dengan urutan sebagai berikut:25,24,23,22,21,20,19,18,17,16,15,14.
3. Kemudian diteteskan NaCl 0,5% dengan pipet kapiler yang banyaknya disesuaikan dengan nomor tabung.
4. Diteteskan pula aquades pada tiap tabung,sampai volumenya berjumlah 25 tetes tiap tabung.Contoh 24 tetes NaCl 0,5% + tetes aquades,23 tetes NaCl 0,5% + 2 tetes aquades.
5. Konsentrasi NaCl pada masing-masing larutan menjadi sebagai berikut:0,5%;0,48%;0,46%;0,44%;0,42%;0,40%;0,38%;0,36%;0,34%;0,32%;0,30%;0,28%.
6. Diambil 3cc darah vena dan diberi 2 tetes EDTA lalu pada masing-masing tabung ditetesi 1 tetes darah,dicampur serta didiamkan 2jam,pada temperature kamar.Untuk control tidak diberi darah.
7. Dibaca tabung dimana terjadi permulaan hemolisis dan tabung dimana terjadi hemolisis yang sempurna (complete hemolisis)
8. Hasil dibandingkan dengan control normal.
Nilai Normal :
Mulai lisis pada NaCl 0,44% (0,42% ± 0,02 % NaCl)
Hemolisis sempurna pada NaCl 0,34% (0,34% ± 0,02% NaCl).
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk pemeriksaan osmotic 1 ml dari darah Reni Dwi Agustina.
Mulai lisis pada tabung nomor 23 dan lisis sempurna pada tabung nomor 15.
Tabung 23 23 tetes NaCl 0,5% dan 2 tetes Aquades
Tabung 15 15 tetes NaCl 0,5% dan 10 tetes Aquades
Mulai lisis pada NaCl 0,46 % ( 0,44% 0,02 % NaCl)
Lisis sempurna pada NaCl 0,30% ( 0,28% 0,02 % NaCl)
Perhitungan ini berbeda dengan nilai normal karena selisih 0,02.
PERTANYAAN :
1. Jelaskan anemia hemolitik otoimun dan sebutkan contoh penyakitnya.
Patofisiologi anemia hemolitik otoimun :
a. Karena Aktivasi system komplemen
Membrane sel darah merah mengalami lisis atau hancur dan terjadi hemolisis intravaskuler.
b. Aktivasi mekanisme seluler
Karena adanya rangsangan keluarnya Immunoglobulin G (IgG) menyebabkan terjadinya hemolisis ekstravaskuler.
c. Kombinasi keduanya
Membrane sel darah merah mengalami lisis atau hancur dan terjadi hemolisis intravaskuler. Selain itu, juga adanya rangsangan keluarnya Immunoglobulin G (IgG) menyebabkan terjadinya hemolisis ekstravaskuler.
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi (autoantibodi) dalam darah, yang terikat dan bereaksi terhadap sel darah merah sendiri.
Anemia hemolitik autoimun dibedakan dalam dua jenis utama, yaitu anemia hemolitik antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi dingin.
Anemia Hemolitik Antibodi Hangat.§
Anemia Hemolitik Antibodi Hangat adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah pada suhu tubuh. Autoantibodi ini melapisi sel darah merah, yang kemudian dikenalinya sebagai benda asing dan dihancurkan oleh sel perusak dalam limpa atau kadang dalam hati dan sumsum tulang. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita.
Sepertiga penderita anemia jenis ini menderita suatu penyakit tertentu (misalnya limfoma, leukemia atau penyakit jaringan ikat, terutama lupus eritematosus sistemik) atau telah mendapatkan obat tertentu, terutama metildopa.
Gejalanya seringkali lebih buruk daripada yang diperkirakan, mungkin karena anemianya berkembang sangat cepat. Limpa biasanya membesar, sehingga bagian perut atas sebelah kiri bisa terasa nyeri atau tidak nyaman.
Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Jika penyebabnya tidak diketahui, diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) dosis tinggi, awalnya melalui intravena , selanjutnya per-oral (ditelan). Sekitar sepertiga penderita memberikan respon yang baik terhadap pengaobatan tersebut. Penderita lainnya mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat limpa, agar limpa berhenti menghancurkan sel darah merah yang terbungkus oleh autoantibodi.
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin.§
Anemia Hemolitik Antibodi Dingin adalah suatu keadaan dimana tubuh membentuk autoantibodi yang bereaksi terhadap sel darah merah dalam suhu ruangan atau dalam suhu yang dingin. Anemia jenis ini dapat berbentuk akut atau kronik. Bentuk yang akut sering terjadi pada penderita infeksi akut, terutama pneumonia tertentu atau mononukleosis infeksiosa. Bentuk akut biasanya tidak berlangsung lama, relatif ringan dan menghilang tanpa pengobatan. Bentuk yang kronik lebih sering terjadi pada wanita, terutama penderita rematik atau artritis yang berusia diatas 40 tahun. Bentuk yang kronik biasanya menetap sepanjang hidup penderita, tetapi sifatnya ringan dan kalaupun ada, hanya menimbulan sedikit gejala.
Cuaca dingin akan meningkatkan penghancuran sel darah merah, memperburuk nyeri sendi dan bisa menyebabkan kelelahan dan sianosis (tampak kebiruan) pada tangan dan lengan.
Penderita yang tinggal di daerah bercuaca dingin memiliki gejala yang lebih berat dibandingkan dengan penderita yang tinggal di iklim hangat.
Diagnosis ditegakkan jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antibodi pada permukaan sel darah merah yang lebih aktif pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh.
Tidak ada pengobatan khusus, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejalanya. Bentuk akut yang berhubungan dengan infeksi akan membaik degnan sendirinya dan jarang menyebabkan gejala yang serius.
Menghindari cuaca dingin bisa mengendalikan bentuk yang kronik.
2. Jelaskan penyakit malaria yang berhubungan dengan hemolisis Sel darah Merah.
Penyakit malaria sangat khas dengan adanya serangan demam yang yang intermiten, anemia sekunder dan spenomegali. Penyakit ini cenderung untuk beralih dari keadaan akut ke keadaan menahun.
Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu :
a. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria
b. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital).
Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena :
-Pecahnya eritrosit yang mengandung parasit
-Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit
Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler
Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronik, pada keadan akut terjadi penurunan yang cepat dari Hb. Penyebab anemia pada malaria adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit, penekanan eritropoesis dan mungkin sangat penting adalah hemolisis oleh proses imunologis.
Pada malaria akut juga terjadi penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi hiperemik, pigmentasi aktif dengan hyperplasia dari normoblast. Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisositosis, polikromasia dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisioasa. Juga dapat dijumpai trombositopenia yang dapat mengganggu proses koagulasi.
IX. KESIMPULAN
1. Mahasiswa mampu mengukur resistensi osmotic darah secara visual dengan adanya lisis ataupun lisis sempurna.
2. Sel darah merah akan mengalami lisis bila ditempatkan pada larutan hipotonis.
3. Pemeriksaan resistensi osmotic darah ini bermanfaat dalam mendiagnosa bermacam macam kelainan seperti anemia hemolitik, Hb abnormal maupun pada penyakit malaria yang terjadi hemolisis sel darah merah oleh parasit Plasmodium sp.
Diposkan oleh ReYni Teen di 12:06 1 komentar
I. PEMERIKSAAN TOTAL PROTEIN
II. TANGGAL PRAKTIKUM
Selasa, 8 Juni 2010
III. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengetahui dan menjelaskan manfaat pemeriksaan Total Protein, Albumin, dan Globulin untuk menegakkan diagnose penyakit.
2. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar Total Protein dengan cara Biuret, Albumin dengan cara BCB dan cara menghitung kadar Globulin.
3. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan Total Protein, Albumin, dan Globulin pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal dan dikaitkan dengan diagnosa penyakit
IV. DASAR TEORI
Protein tersusun dari asam amino yang berkaitan satu sama laindengan ikatan peptida
R
Tiga perempat zat padat dari tubuh adalah protein dengan fungsi yang berbeda-beda. Sebagian besar adalah : protein jaringan/structural, protein kontraktil dan nucleoprotein.
Protein yang diperiksa dalam laboratorium terdapat dalam: darah, urin, saliva, cairan pleural, peritoneal, dan feses. Pada praktikum ini yang dibahas terutama protein plasma.
Protein plasma yang beredar terdiri atas :
1. Albumin, kadar normal 3,4 - 4,7 g/dl
2. Globulin
3. Fibrinogen
4. Terdapat sejumlah kecil dalam : enzim, protein structural, dan metabolic ( hormone dan protein transfer).
Fungsi Protein Plasma :
1. Keseimbangan osmotic
Hipoalbumin menyebabkan tekanan osmotic plasma menurun sehingga kapiler tidak mampu melawan tekanan hidrostatik sehingga timbul edem ( cairan darah menuju ke jaringan interstitial).
2. Pembentukan dan nutrisi jaringan
Enzym, hormone, pembekuan darah ( fibrinogen, AT III) dan jaringan tubuh.
3. Transportasi
Umum yaitu Albumin
Khusus :
Hormon Prealbumin
Vitamin Prealbumin
Lipid Lipoprotein
Co Ceruloplasmin
Hb Haptoglobin
Heme Hemopexin
Fe Transferin
4. Daya tahan tubuh
Antibodi dan komplemen
Perubahan Protein Plasma :
Hiperalbumin : peningkatan kadar albumin§
Dijumpai pada dehidrasi terjadi hemokonsentrasi protein plasma.
Hipoalbumin§
Dijumpai pada malnutrisi, malabsorbsi, hepatitis akut, penyakit hati menahun, dll.
Pemeriksaan protein plasma berkisar pada pemeriksaan total protein serum, albumin dan globulin.
METODE :
Metode Biuret.
V. PRINSIP KERJA
Dilakukan pemeriksaan kuantitatif dengan spektrofotometri. Reaksi berwarna antar tembaga alkali dengan rantai peptide CO – NH akan menghasilkan warna ungu.
VI. ALAT DAN BAHAN
Alat
Tabung reaksi ukuran 5 ml§
Rak tabung reaksi§
Pipet berukuran 60μl dan 1000μl§
Spektrofotometer§
Bahan
Reagen Biuret§
Reagen Standar Protein§
Serum atau Plasma§
VII. CARA KERJA
1. Disiapkan 3 buah tabung reaksi seukuran 5 ml, masing-masing diberi label untuk reagen Blanko (RB), Reagen Standard (STD) dan Sampel (SPL) berupa serum darah.
2. Tabung RB diberi 3.000μl Reagen biuret.
3. Tabung STD diberi 60μl Reagen Standard Protein dan ditambah dengan 3.000μl Reagen Biuret, dicampur supaya homogen.
4. Tabung SPL diberi 60μl Sampel (serum) dan 3.000μl Reagen Biuret , dicampur supaya homogen.
5. Selanjutnya masing-masing diinkubasi selama 10 menit pada temperature kamar.
6. Diukur absorbs (∆A) dari STD dan SPL terhadap RB dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
7. Batas linearitas alat adalah 12 g/dl. Apabila didapatkan diatas angka tersebut, serum harus diencerkan dengan NaCl 1+1, hasil dikalikan 2.
Pengukuran terhadap Blanko reagen
RB STD SPL
Sample (μl) - - 60
Standard (STD) - 60 -
Reagen (μl) 3000 3000 3000
Campur, inkubasi 10 menit (20-250C). ukur Abs (∆A), standar A( STD) dan sample A (SPL) terhadap blanko reagen (RB) dalam 10 menit.
PERHITUNGAN
Kadar Total Protein (g/dl)= ∆A SPL x 8 g/dl
∆A STD
LINIERITAS
Batas linieritas alat adalah 12 g/dl. Apabila didapatkan diatas angka tersebut, serum harus diencerkan dengan NaCl 1+1, hasil dikalikan 2.
NILAI NORMAL
Bayi : 4.6- 7,0 g/dl
3 tahun s.d dewasa : 6,6-8,7 g/dl
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aplikasi Klinis
1. Sindrom Nefrotik
Merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan fungsi
ginjal yang bercirikan hipoproteinemia, oedema, hiperlipidemia,
proteinuri, ascites dan penurunan keluaran urine.
TANDA DAN GEJALA
Sebagai sebuah sindroma (kumpulan gejala), tanda / gejala
penyakit sindroma nefrotik meliputi :
- Proteinuria
- Hipoalbuminemia
- Hiperkolesterolemia/hiperlipidemia
- Oedema
Beberapa gejala yang mungkin muncul antara lain hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Proteinuria (85-95%) terjadi sejumlah 10 –15 gram/hari (dalam pemeriksaan Esbach) . Selama terjadi oedema biasanya BJ Urine meningkat. Mungkin juga terjadi penurunan faktor IX, Laju endap darah meningkat dan rendahnya kadar kalsium serta hiperglikemia.
ETIOLOGI
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun.
Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi. Umumnya dibagi menjadi
4 kelompok :
1. Sindroma nefrotik bawaan
2. Sindroma nefrotik sekunder
3. Sindroma nefrotik idiopati
4. Glumerulosklerosis fokal segmental
PATOFISIOLOGI
Penyakit nefrotik sindoma biasanya menyerang pada anak-anak pra sekolah. Hingga saat sebab pasti penyakit tidak ditemukan, tetapi berdasarkan klinis dan onset gejala yang muncul dapat terbagi menjadi sindroma nefrotik bawaan yang biasanya jarang terjadi; Bentuk idiopati yang tidak jelas penyebabnya maupun sekunder dari penyakit lainnya yang
dapat ditentukan faktor predisposisinya; seperti pada penyakit malaria kuartana, Lupus Eritematous Diseminata, Purpura Anafilaktoid, Grumeluronefritis (akut/kronis) atau sebagai reaksi terhadap hipersensitifitas (terhadap obat). Nefrotik sindroma idiopatik yang sering juga disebut Minimal Change Nefrotic Syndrome (MCNS) merupakan bentuk penyakit yang paling umum (90%).
Patogenesis penyakit ini tidak diketahui, tetapi adanya perubahan pada membran glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine (albuminuria). Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindah ke ruang interstitisel, yang menghasilkan
oedema dan hipovolemia. Penurunan volume vaskuler menstimulasi sistem renin angiotensin, yang memungkinkan sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron merangsang peninkatan reabsorbsi tubulus distal terhadap Natrium dan Air, yang menyebabkan bertambahnya oedema. Hiperlipidemia dapat terjadi karena lipoprotein memiliki molekul yang lebih berat dibandingkan albumin sehingga tidak akan hilang dalam urine.
2. Proteinuria
Merupakan protein yang terdapat di dalam air kemih.
PATOFISIOLOGI
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan
sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negative MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada
GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan pemeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang
pasti belum diketahui.
3. Hipoalbumin
Hipoalbumin dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin, sintesis yag tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan intake protein, peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi akut maupun kronis.
a. Malnutrisi protein
Asam amino diperlukan dalam sintesa albumin, akibat dari defesiensi intake protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel yang berpengaruh pada sintesis albumin dalan sel hati
b. Sintesis yang tidak efektif
Pada pasien deng sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penuruanan aliran darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati
c. Kehilangan protein ekstravaskular
Kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Darat terjadi kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam. Kehilanan albumin juga dapat terjadi pasien dengan luka bakar yang luas.
d. Hemodilusi
Pada pasien ascites, terjadi peningkatan cairan tubuh mengakibatkan penurunan kadar albumin walaupun sintesis albumin normal atau meningkat. Bisanya terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan ascites
e. Inflamasi akut dan kronis
Kadar albumin rendah karena inflamasi akut dan akan menjadi normal dalam beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respos inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme berikut:
1. Peningkatan permeabilitas vascular (mengijinkan albumin untuk berdifusi ke ruang ekstravaskular)
2. Peningkatan degradasi albumin
3. Penurunan sintesis albumin (TNF yang berperan dalam penuruanan trankripsi gen albumin).
B. Percobaan
Untuk pemeriksaan protein 2 ml dari darah Nurul Hidayat.
Hasil pemeriksaan 5,3 g/dl, kadar tersebut tidak normal karena kadar normal total protein 6,6-8,7 g/dl. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh factor :
1. Malnutrisi protein atau kekurangan intake protein.
2. Kebiasaan pola hidup yang tidak sehat.
PERTANYAAN
1. Jelaskan mengapa pada penyakit sindroma nefrotik terjadi hipoalbumin!
Pada penyakit sindroma nefrotik terjadi hipoalbumin karena kehilangan protein ekstravaskular dan adanya perubahan pada membran glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine. Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindah ke ruang interstitisel,
Kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Darah terjadi kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam.
2. Jelaskan mengapa pada penyakit sirosis hepatis terjadi hipoalbumin!
Pada penyakit sirosis hepatis terjadi hipoalbumin karena terdapat sintesis yang tidak efektif. Pada pasien dengan sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penuruanan aliran darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan diatas, kami dapat menyimpulkan :
1. Jumlah kadar normal protein mempengaruhi kesehatan manusia. Semakin sedikit atau lebih kadar normal total protein semakin banyak penyakit yang ditimbulkan.
2. Jumlah kadar total protein normal dipengaruhi oleh factor antara lain malnutrisi protein atau kekurangan intake protein dan kebiasaan pola hidup tidak sehat.
3. Manfaat pemeriksaan Total Protein, Albumin, dan Globulin sangat penting untuk menegakkan diagnose penyakit.
X. DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/26656474/Label-Perkuliahan-a-PENGERTIAN-Merupakan-Suatu-Kondisi.htm
http://dewabenny.com/2008/06/22/hipoalbumin.htm
II. TANGGAL PRAKTIKUM
Selasa, 8 Juni 2010
III. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengetahui dan menjelaskan manfaat pemeriksaan Total Protein, Albumin, dan Globulin untuk menegakkan diagnose penyakit.
2. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar Total Protein dengan cara Biuret, Albumin dengan cara BCB dan cara menghitung kadar Globulin.
3. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan Total Protein, Albumin, dan Globulin pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal dan dikaitkan dengan diagnosa penyakit
IV. DASAR TEORI
Protein tersusun dari asam amino yang berkaitan satu sama laindengan ikatan peptida
R
Tiga perempat zat padat dari tubuh adalah protein dengan fungsi yang berbeda-beda. Sebagian besar adalah : protein jaringan/structural, protein kontraktil dan nucleoprotein.
Protein yang diperiksa dalam laboratorium terdapat dalam: darah, urin, saliva, cairan pleural, peritoneal, dan feses. Pada praktikum ini yang dibahas terutama protein plasma.
Protein plasma yang beredar terdiri atas :
1. Albumin, kadar normal 3,4 - 4,7 g/dl
2. Globulin
3. Fibrinogen
4. Terdapat sejumlah kecil dalam : enzim, protein structural, dan metabolic ( hormone dan protein transfer).
Fungsi Protein Plasma :
1. Keseimbangan osmotic
Hipoalbumin menyebabkan tekanan osmotic plasma menurun sehingga kapiler tidak mampu melawan tekanan hidrostatik sehingga timbul edem ( cairan darah menuju ke jaringan interstitial).
2. Pembentukan dan nutrisi jaringan
Enzym, hormone, pembekuan darah ( fibrinogen, AT III) dan jaringan tubuh.
3. Transportasi
Umum yaitu Albumin
Khusus :
Hormon Prealbumin
Vitamin Prealbumin
Lipid Lipoprotein
Co Ceruloplasmin
Hb Haptoglobin
Heme Hemopexin
Fe Transferin
4. Daya tahan tubuh
Antibodi dan komplemen
Perubahan Protein Plasma :
Hiperalbumin : peningkatan kadar albumin§
Dijumpai pada dehidrasi terjadi hemokonsentrasi protein plasma.
Hipoalbumin§
Dijumpai pada malnutrisi, malabsorbsi, hepatitis akut, penyakit hati menahun, dll.
Pemeriksaan protein plasma berkisar pada pemeriksaan total protein serum, albumin dan globulin.
METODE :
Metode Biuret.
V. PRINSIP KERJA
Dilakukan pemeriksaan kuantitatif dengan spektrofotometri. Reaksi berwarna antar tembaga alkali dengan rantai peptide CO – NH akan menghasilkan warna ungu.
VI. ALAT DAN BAHAN
Alat
Tabung reaksi ukuran 5 ml§
Rak tabung reaksi§
Pipet berukuran 60μl dan 1000μl§
Spektrofotometer§
Bahan
Reagen Biuret§
Reagen Standar Protein§
Serum atau Plasma§
VII. CARA KERJA
1. Disiapkan 3 buah tabung reaksi seukuran 5 ml, masing-masing diberi label untuk reagen Blanko (RB), Reagen Standard (STD) dan Sampel (SPL) berupa serum darah.
2. Tabung RB diberi 3.000μl Reagen biuret.
3. Tabung STD diberi 60μl Reagen Standard Protein dan ditambah dengan 3.000μl Reagen Biuret, dicampur supaya homogen.
4. Tabung SPL diberi 60μl Sampel (serum) dan 3.000μl Reagen Biuret , dicampur supaya homogen.
5. Selanjutnya masing-masing diinkubasi selama 10 menit pada temperature kamar.
6. Diukur absorbs (∆A) dari STD dan SPL terhadap RB dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
7. Batas linearitas alat adalah 12 g/dl. Apabila didapatkan diatas angka tersebut, serum harus diencerkan dengan NaCl 1+1, hasil dikalikan 2.
Pengukuran terhadap Blanko reagen
RB STD SPL
Sample (μl) - - 60
Standard (STD) - 60 -
Reagen (μl) 3000 3000 3000
Campur, inkubasi 10 menit (20-250C). ukur Abs (∆A), standar A( STD) dan sample A (SPL) terhadap blanko reagen (RB) dalam 10 menit.
PERHITUNGAN
Kadar Total Protein (g/dl)= ∆A SPL x 8 g/dl
∆A STD
LINIERITAS
Batas linieritas alat adalah 12 g/dl. Apabila didapatkan diatas angka tersebut, serum harus diencerkan dengan NaCl 1+1, hasil dikalikan 2.
NILAI NORMAL
Bayi : 4.6- 7,0 g/dl
3 tahun s.d dewasa : 6,6-8,7 g/dl
VIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aplikasi Klinis
1. Sindrom Nefrotik
Merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan fungsi
ginjal yang bercirikan hipoproteinemia, oedema, hiperlipidemia,
proteinuri, ascites dan penurunan keluaran urine.
TANDA DAN GEJALA
Sebagai sebuah sindroma (kumpulan gejala), tanda / gejala
penyakit sindroma nefrotik meliputi :
- Proteinuria
- Hipoalbuminemia
- Hiperkolesterolemia/hiperlipidemia
- Oedema
Beberapa gejala yang mungkin muncul antara lain hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Proteinuria (85-95%) terjadi sejumlah 10 –15 gram/hari (dalam pemeriksaan Esbach) . Selama terjadi oedema biasanya BJ Urine meningkat. Mungkin juga terjadi penurunan faktor IX, Laju endap darah meningkat dan rendahnya kadar kalsium serta hiperglikemia.
ETIOLOGI
Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap sebagi suatu bentuk penyakit autoimun.
Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi. Umumnya dibagi menjadi
4 kelompok :
1. Sindroma nefrotik bawaan
2. Sindroma nefrotik sekunder
3. Sindroma nefrotik idiopati
4. Glumerulosklerosis fokal segmental
PATOFISIOLOGI
Penyakit nefrotik sindoma biasanya menyerang pada anak-anak pra sekolah. Hingga saat sebab pasti penyakit tidak ditemukan, tetapi berdasarkan klinis dan onset gejala yang muncul dapat terbagi menjadi sindroma nefrotik bawaan yang biasanya jarang terjadi; Bentuk idiopati yang tidak jelas penyebabnya maupun sekunder dari penyakit lainnya yang
dapat ditentukan faktor predisposisinya; seperti pada penyakit malaria kuartana, Lupus Eritematous Diseminata, Purpura Anafilaktoid, Grumeluronefritis (akut/kronis) atau sebagai reaksi terhadap hipersensitifitas (terhadap obat). Nefrotik sindroma idiopatik yang sering juga disebut Minimal Change Nefrotic Syndrome (MCNS) merupakan bentuk penyakit yang paling umum (90%).
Patogenesis penyakit ini tidak diketahui, tetapi adanya perubahan pada membran glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine (albuminuria). Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindah ke ruang interstitisel, yang menghasilkan
oedema dan hipovolemia. Penurunan volume vaskuler menstimulasi sistem renin angiotensin, yang memungkinkan sekresi aldosteron dan hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron merangsang peninkatan reabsorbsi tubulus distal terhadap Natrium dan Air, yang menyebabkan bertambahnya oedema. Hiperlipidemia dapat terjadi karena lipoprotein memiliki molekul yang lebih berat dibandingkan albumin sehingga tidak akan hilang dalam urine.
2. Proteinuria
Merupakan protein yang terdapat di dalam air kemih.
PATOFISIOLOGI
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan
sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negative MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada
GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan pemeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang
pasti belum diketahui.
3. Hipoalbumin
Hipoalbumin dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin, sintesis yag tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan intake protein, peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi akut maupun kronis.
a. Malnutrisi protein
Asam amino diperlukan dalam sintesa albumin, akibat dari defesiensi intake protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel yang berpengaruh pada sintesis albumin dalan sel hati
b. Sintesis yang tidak efektif
Pada pasien deng sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penuruanan aliran darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati
c. Kehilangan protein ekstravaskular
Kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Darat terjadi kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam. Kehilanan albumin juga dapat terjadi pasien dengan luka bakar yang luas.
d. Hemodilusi
Pada pasien ascites, terjadi peningkatan cairan tubuh mengakibatkan penurunan kadar albumin walaupun sintesis albumin normal atau meningkat. Bisanya terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan ascites
e. Inflamasi akut dan kronis
Kadar albumin rendah karena inflamasi akut dan akan menjadi normal dalam beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respos inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme berikut:
1. Peningkatan permeabilitas vascular (mengijinkan albumin untuk berdifusi ke ruang ekstravaskular)
2. Peningkatan degradasi albumin
3. Penurunan sintesis albumin (TNF yang berperan dalam penuruanan trankripsi gen albumin).
B. Percobaan
Untuk pemeriksaan protein 2 ml dari darah Nurul Hidayat.
Hasil pemeriksaan 5,3 g/dl, kadar tersebut tidak normal karena kadar normal total protein 6,6-8,7 g/dl. Hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh factor :
1. Malnutrisi protein atau kekurangan intake protein.
2. Kebiasaan pola hidup yang tidak sehat.
PERTANYAAN
1. Jelaskan mengapa pada penyakit sindroma nefrotik terjadi hipoalbumin!
Pada penyakit sindroma nefrotik terjadi hipoalbumin karena kehilangan protein ekstravaskular dan adanya perubahan pada membran glumerolus menyebabkan peningkatan permeabilitas, yang memungkinkan protein (terutama albumin) keluar melalui urine. Perpindahan protein keluar sistem vaskular menyebabkan cairan plasma pindah ke ruang interstitisel,
Kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Darah terjadi kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam.
2. Jelaskan mengapa pada penyakit sirosis hepatis terjadi hipoalbumin!
Pada penyakit sirosis hepatis terjadi hipoalbumin karena terdapat sintesis yang tidak efektif. Pada pasien dengan sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penuruanan aliran darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan diatas, kami dapat menyimpulkan :
1. Jumlah kadar normal protein mempengaruhi kesehatan manusia. Semakin sedikit atau lebih kadar normal total protein semakin banyak penyakit yang ditimbulkan.
2. Jumlah kadar total protein normal dipengaruhi oleh factor antara lain malnutrisi protein atau kekurangan intake protein dan kebiasaan pola hidup tidak sehat.
3. Manfaat pemeriksaan Total Protein, Albumin, dan Globulin sangat penting untuk menegakkan diagnose penyakit.
X. DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/26656474/Label-Perkuliahan-a-PENGERTIAN-Merupakan-Suatu-Kondisi.htm
http://dewabenny.com/2008/06/22/hipoalbumin.htm
Diposkan oleh ReYni Teen di 12:02 0 komentar